Namaku A Lian
Chan.
Aku adalah
gadis cilik berumur 5 tahun, yang duduk
di bangku kelas awal Sekolah Dasar. Terlalu muda untuk menjadi seorang murid
SD, tidak mengapa, menuntut ilmu tidak menuntut usia, entah apa maksudnya, aku
hanya menirukan kata Pa ku.
Kau pandai menghayal? Pernahkah kau melihat guci porselen milik Kaisar China? Motif
apa yang acap kau lihat? Naga? Pernah kau melihat motif guci berupa gadis
cantik, bermata indah bagai biji kuaci, bibir mungil bagai pinang terbelah,
dengan kulit langsat dan poni berkepang
dua berpita merah cantik di ujungnya? Itu adalah guci trelangka sepanjang masa
milik seorang kaisar hebat di China. Seperti itulah aku, gadis cilik yang
cantik dan rupawan, kata Pa ku dua hari lalu, saat kunjungan di Museum
Kekaisaran.
Tapi jangan
kau bayangkan, aku duduk manis membaca buku cerita di atas bantal duduk
bersulam sutra, atau belajar di bawah indahnya lampu berlian. Aku senantiasa
berbahagia, duduk, membaca, dan belajar menulis huruf kanji diatas karung
tepung disudut toko kelontong Pa, dimalam hari bulan sabitlah yang menemaniku
dan Ma menguleni bakpao untuk dagangan esok. Aku tak kalah bahagia dengan A Ken
misalnya, yang selalu membandingkan bekalnya dengan bakpao dingin di kotak
rotan milikku. Kata Pa, ibu guru A Ling tidak akan menyayangi muridnya hanya
dari apa isi kotak bekalnya, tapi dari rapinya menulis huruf kanji. Karena itu
aku tak pernah memerdulikan kenakalan A Ken lagi.
Suatu ketika
aku diminta Ma mengantar bakpao pesanan Koh Ahong. Aku berjalan kaki menuju rumah
Koh terkaya di desaku itu, dengan menjinjing keranjang berisi bakpao panas
sejumlah 10 buah. Hal semacam ini aku lakukan hampir setiap hari sepulang
bersekolah. Anehnya, aku tak pernah menerima uang dari Koh Ahong, tidak seperti
saat aku mengantar bakpao kerumah Koh Tiang misalnya. Ma bilang, Koh Ahong akan membayar bakpao bakpao itu esok suatu
hari. Ah, aku tidak mengerti.
Sepulang dari
rumah Koh Ahong, Ma mengajakku serta ke toko Pa. Berjalan kaki juga. Keluarga
kami hanya memiliki satu sepeda tua, yang saat ini berada di rumah pegadaian
Koh Ahong. Aku tidak mengerti, kenapa sepeda reot kami ditinggalkan di sana,
setahuku apa saja yang dibawa ke rumah pegadaian akan kembali menjadi uang.
Tapi kurasa tidak, Pa tidak tampak memiliki uang banyak sejak sepekan sepeda
kami di sana.
Sesampai di
toko, Pa langsung mengangkatku dalam pelukannya, dan seperti biasa menungguku
bercerita tentang hari di sekolah, hingga aku nyaris tak bernapas saking
bersemangatnya. Pa selalu menyelakan waktunya menunggu pelanggan dengan
mendengarkan ceritaku. Pa senantiasa tersenyum, tertawa dan bersemangat jika
aku bercerita tentang proses ku belajar menulis huruf kanji bersama ibu guru A
Ling. Terkadang kulihat setitik air di ujung mata Pa. Pa menangis? Pa terharu, kata
Ma. Karena Pa tidak pernah merasakan menjadi anak sekolahan. Aku hanya
mengangguk. Turut merasakan perasaan Pa kala Pa kecil dulu.
Di sela
ceritaku, saat aku siap berangkat sekolah dengan tas rotanku, atau saat aku
bersiap untuk tidur, Pa selalu berkata “ Jangan jadi anak nakal Lee Chan,
jangan membantah kata Ma, jangan melotot pada ibu guru A Ling, jangan berkelahi
dengan teman ”. “ Bahkan saat A Ken
mendorongku Pa?” selaku. Pa menggeleng, tangannya tak henti mengelus kepang
duaku “ sekalipun jangan sayang. Jadilah anak yang baik, penurut, dan pandai
menulis huruf kanji dan lihai berhitung matematika”. Aku manggut manggut
mengerti. Tapi terkadang aku lelah dengan nasihat Pa tadi, selalu kalimat yang
sama yang Pa katakan padaku.
Pernah aku
terkena marah Ma, saat aku berkata ingin berhenti sekolah jika aku sudah pandai
menulis huruf kanji, aku ingin berjualan bakpao dan kelontong seperti Pa dan Ma
saja. Tak kusangka Ma marah besar , Ma berkata “ kau harus pandai nak, harus
lebih pandai dari Ma dan Pa. Ma tak ingin kau seperti Ma, Ma ingin kau hidup
dengan layak dan berkecukupan. Ma tak mau kelak kau tinggal di gubuk macam ini,
dan hanya makan bakpao setiap hari !”. Ma menangis hingga terduduk. Hal ini membuatku
tak berani lagi berkata demikian.
Suatu ketika
Koh Ahong mendatangi toko Pa, ia datang membawa sepeda reot kami. Aku bersorak gembira, walau
aku belum dapat mengendarainya, tapi bahagia rasanya melihat sepeda itu kembali
kepada Pa. Koh Ahong berkata sembari menyalami Pa “ Chen, lunas sudah hutangmu,
terimakasih bakpaonya, tadi isterimu telah mebayar lunas hutang yang seharusnya
kau cicil hingga 3 pekan lagi. Ini sepedamu, semoga uang kemarin bisa
meluluskan impianmu menyekolahkan Lian Chan hingga setinggi tingginya ”. Aku
melongo, menyaksikan Pa berpelukan dengan Koh Ahong. Oh, rupanya sepeda kami
dijadikan Pa sebagai jaminan atas uang yang dipinjam Pa kepada Koh Ahong
sepekan lalu, saat aku didaftarkan bersekolah di Sekolah ibu guru A Ling.
Aku berlari
memeluk Pa, mencium pipinya, dan berbisik mengucapkan terima kasih
ditelinganya. Pa mencium keningku dan tersenyum.
Pa, Ma, aku
berjanji, aku akan menjadi anak yang rajin,pandai menulis huruf kanji,
menghitung matematika, dan kelak memiliki rumah seperti rumah Koh Ahong, yang
bertingkat 3.
Tunggu aku
dewasa Pa, Ma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar