Sabtu, 19 April 2014

Pa, Lee chan ingin bahagiakan Pa



Namaku A Lian Chan.
Aku adalah gadis cilik berumur  5 tahun, yang duduk di bangku kelas awal Sekolah Dasar. Terlalu muda untuk menjadi seorang murid SD, tidak mengapa, menuntut ilmu tidak menuntut usia, entah apa maksudnya, aku hanya menirukan kata Pa ku.
 Kau pandai menghayal? Pernahkah kau  melihat guci porselen milik Kaisar China? Motif apa yang acap kau lihat? Naga? Pernah kau melihat motif guci berupa gadis cantik, bermata indah bagai biji kuaci, bibir mungil bagai pinang terbelah, dengan  kulit langsat dan poni berkepang dua berpita merah cantik di ujungnya? Itu adalah guci trelangka sepanjang masa milik seorang kaisar hebat di China. Seperti itulah aku, gadis cilik yang cantik dan rupawan, kata Pa ku dua hari lalu, saat kunjungan di Museum Kekaisaran.
Tapi jangan kau bayangkan, aku duduk manis membaca buku cerita di atas bantal duduk bersulam sutra, atau belajar di bawah indahnya lampu berlian. Aku senantiasa berbahagia, duduk, membaca, dan belajar menulis huruf kanji diatas karung tepung disudut toko kelontong Pa, dimalam hari bulan sabitlah yang menemaniku dan Ma menguleni bakpao untuk dagangan esok. Aku tak kalah bahagia dengan A Ken misalnya, yang selalu membandingkan bekalnya dengan bakpao dingin di kotak rotan milikku. Kata Pa, ibu guru A Ling tidak akan menyayangi muridnya hanya dari apa isi kotak bekalnya, tapi dari rapinya menulis huruf kanji. Karena itu aku tak pernah memerdulikan kenakalan A Ken lagi.
Suatu ketika aku diminta Ma mengantar bakpao pesanan Koh Ahong. Aku berjalan kaki menuju rumah Koh terkaya di desaku itu, dengan menjinjing keranjang berisi bakpao panas sejumlah 10 buah. Hal semacam ini aku lakukan hampir setiap hari sepulang bersekolah. Anehnya, aku tak pernah menerima uang dari Koh Ahong, tidak seperti saat aku mengantar bakpao kerumah Koh Tiang misalnya. Ma bilang, Koh Ahong  akan membayar bakpao bakpao itu esok suatu hari. Ah, aku tidak mengerti.
Sepulang dari rumah Koh Ahong, Ma mengajakku serta ke toko Pa. Berjalan kaki juga. Keluarga kami hanya memiliki satu sepeda tua, yang saat ini berada di rumah pegadaian Koh Ahong. Aku tidak mengerti, kenapa sepeda reot kami ditinggalkan di sana, setahuku apa saja yang dibawa ke rumah pegadaian akan kembali menjadi uang. Tapi kurasa tidak, Pa tidak tampak memiliki uang banyak sejak sepekan sepeda kami di sana.
Sesampai di toko, Pa langsung mengangkatku dalam pelukannya, dan seperti biasa menungguku bercerita tentang hari di sekolah, hingga aku nyaris tak bernapas saking bersemangatnya. Pa selalu menyelakan waktunya menunggu pelanggan dengan mendengarkan ceritaku. Pa senantiasa tersenyum, tertawa dan bersemangat jika aku bercerita tentang proses ku belajar menulis huruf kanji bersama ibu guru A Ling. Terkadang kulihat setitik air di ujung mata Pa. Pa menangis? Pa terharu, kata Ma. Karena Pa tidak pernah merasakan menjadi anak sekolahan. Aku hanya mengangguk. Turut merasakan perasaan Pa kala Pa kecil dulu.
Di sela ceritaku, saat aku siap berangkat sekolah dengan tas rotanku, atau saat aku bersiap untuk tidur, Pa selalu berkata “ Jangan jadi anak nakal Lee Chan, jangan membantah kata Ma, jangan melotot pada ibu guru A Ling, jangan berkelahi dengan teman  ”. “ Bahkan saat A Ken mendorongku Pa?” selaku. Pa menggeleng, tangannya tak henti mengelus kepang duaku “ sekalipun jangan sayang. Jadilah anak yang baik, penurut, dan pandai menulis huruf kanji dan lihai berhitung matematika”. Aku manggut manggut mengerti. Tapi terkadang aku lelah dengan nasihat Pa tadi, selalu kalimat yang sama yang Pa katakan padaku.
Pernah aku terkena marah Ma, saat aku berkata ingin berhenti sekolah jika aku sudah pandai menulis huruf kanji, aku ingin berjualan bakpao dan kelontong seperti Pa dan Ma saja. Tak kusangka Ma marah besar , Ma berkata “ kau harus pandai nak, harus lebih pandai dari Ma dan Pa. Ma tak ingin kau seperti Ma, Ma ingin kau hidup dengan layak dan berkecukupan. Ma tak mau kelak kau tinggal di gubuk macam ini, dan hanya makan bakpao setiap hari !”. Ma menangis hingga terduduk. Hal ini membuatku tak berani lagi berkata demikian.
Suatu ketika Koh Ahong mendatangi toko Pa, ia datang membawa  sepeda reot kami. Aku bersorak gembira, walau aku belum dapat mengendarainya, tapi bahagia rasanya melihat sepeda itu kembali kepada Pa. Koh Ahong berkata sembari menyalami Pa “ Chen, lunas sudah hutangmu, terimakasih bakpaonya, tadi isterimu telah mebayar lunas hutang yang seharusnya kau cicil hingga 3 pekan lagi. Ini sepedamu, semoga uang kemarin bisa meluluskan impianmu menyekolahkan Lian Chan hingga setinggi tingginya ”. Aku melongo, menyaksikan Pa berpelukan dengan Koh Ahong. Oh, rupanya sepeda kami dijadikan Pa sebagai jaminan atas uang yang dipinjam Pa kepada Koh Ahong sepekan lalu, saat aku didaftarkan bersekolah di Sekolah ibu guru A Ling.
Aku berlari memeluk Pa, mencium pipinya, dan berbisik mengucapkan terima kasih ditelinganya. Pa mencium keningku dan tersenyum.
Pa, Ma, aku berjanji, aku akan menjadi anak yang rajin,pandai menulis huruf kanji, menghitung matematika, dan kelak memiliki rumah seperti rumah Koh Ahong, yang bertingkat 3.
Tunggu aku dewasa Pa, Ma.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar